Kamis, 22 November 2012

Cerpen-Cinta Sang Pengemis Ilmu


Yogyakarta, 15 November 2012
CINTA Sang Pengemis Ilmu

Sabtu pagi nan cerah ini hatiku tak banyak ingin berbuat seperti di hari-hariku yang penuh semangat. Sulit tuk dikatakan apa gerangan yang menjadikannya segundah para penyair yang kehabisan kata-kata. Semalam, saat Ustadz menyampaikan penjelasan kitab di kelas pun, seketika itu pikiranku melanglangbuana, merambah ke hutan kebencianku,  mengarungi lautan asmaraku, menyusuri sungai harapanku, dan kurasakan malam itu adalah sebuah kerinduan. Namun di sisi lain, sekali lagi adalah sebuah kebencian. Astaghfirullah.......Konsentrasiku terbelah. Untunglah aku tetap sadar jika ku hanyalah seorang pengemis ilmu yang tak sepantasnya mengabaikan pemberian yang Ustadzku sampaikan. Catatanku pun tak sebanyak malam-malam biasanya aku mengaji. Yang banyak hanyalah luapan-luapan perasaanku yang kuselipkan pada bagian luang buku catatan ngajiku. Hmmm,,malam itu aku sedikit terkalahkan oleh perasaanku sendiri.
Kali ini aku lebih banyak diam, melamun, merenung.
Setahun yang lalu, tepatnya awal usia “status Mahasiswa”ku menginjak semester 3, kuputuskan sebuah pilihan untuk nyantri di sebuah Pondok kecil yang tak jauh dari kampusku kuliah. Semenjak itu pula hari-hariku penuh dengan aktivitas yang seolah membuatku slalu ada bayangan besar yang muncul di setiap kali ku selesai melakukan satu agenda untuk melakukan agenda selanjutnya. Tak hanya itu, semenjak itu pula statusku tlah berubah, MahaSantri. Mahasiswa plus Santri.
            Sebenarnya tak mudah bagiku, bagi teman-teman yang senasib denganku tuk begitu saja mengubah status Mahasiswa kami menjadi MahaSantri. Apalagi jika ingat tuntutan atas status baru ini. Semua serba butuh perjuangan keras. Kami sadar akan hal itu. Terlebih aku. Sejak awal kuputuskan, aku siap akan segala resiko terburuk yang bakal kuterima. Mungkin bagi mereka yang telah berpengalaman menjadi seorang mahasantri, bukan hal yang sulit tuk menyandang status itu. Tapi bagi ku???? Atau kami, yang samasekali belum pernah menyandang status ini pasti merasa hal ini adalah sesuatu yang istimewa, yah, benar-benar istimewa. Bagaimana tidak??? Saat kuliah kami harus konsentrasi dengan kuliah kami. Selasai kuliah, kami masih harus menyimpan rapat-rapat dalam memori kami pesan dosen tuk mempelajari bab selanjutnya. Mau tak mau kami harus punya bacaan. Belum lagi tugas-tugas lain yang harus dikerjakan sebagai bonus tambahan kuliah kami. Kami sangat bersyukur, amat sangat bersyukur. Dosen kami sangat baik dan dermawan. Mereka tak pernah lupa memberi mahasiswanya tugas......, tugas...., dan tugas. Hmmm,,, inilah nikmat pertama yang kami rasakan atas gelar yang kami sandang.
Keluar kampus, mau tak mau kami harus mengambil kendaraan pribadi kami. Kendaraan yang setia menemani kami kemanapun kami pergi, yang tak pernah protes dengan kami jika ia kepanasan atau kehujanan. Sebuah sepeda ontel mini, merk “Jieyang” lawas, dengan lampu kecil di depan dan belakang yang tak dapat nyala, keranjang besi tempat menaruh tas yang karatan, rem yang seret, rantai berkarat yang beruntung tak putus-putus meski telah berusia lama. Ban roda yang sedikit merekah pertanda hampir meletus, belum lagi jika kami kayuh pastilah sangat merdu suaranya. Inilah nikmat kedua kami yang kami rasakan sebagai penyandang status baru kami. Pemilik kendaraan pribadi masa kini yang kami anggap sebagai saksi bisu atas perjuangan kami menuntut ilmu.
 Sepulang kuliah, kami harus mengerjakan kegiatan kami di pondok layaknya para penghuni rumah yang pasti punya cucian kotor, tugas bersih-bersih, dll. Sampai saaatnya jam ngaji sore, kami harus siap-siap kembali menuntut ilmu. Mengaji di Pondok kecil kami. Hunian sederhana tempat kami menetap sekaligus menuntut ilmu agama. Inilah nikmat ketiga kami sebagai penyandang status Mahasantri.
Tak lama kami nikmati nasehat demi nasehat, pelajaran demi pelajaran serta ilmu yang kami dapatkan sepanjang sore hari bersama Ustadz, senja di ufuk barat menyambut dengan bertemankan suara burung-burung yang hendak kembali ke sarangnya. Sepanjang sore kami slalu mendapatkan pencerahan. Bak seorang pengemis ilmu yang haus akan pengetahuan.
Adzan berkumandang. Saatnya kami melanjutkan aktivitas-ativitas kami, dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai seorang santri, sholat berjama’ah, mujahadah, tadarus Qur’an, hafalan, muthola’ah sampai saatnya bel berbunyi, Teeeeeeeett” Teeeeeeet” Teeeeettt”. Pertanda untuk kami memulai kembali membuktikan cinta kami, cinta seorang pengemis ilmu berstatuskan mahasantri. Mengaji pada setiap malam kecuali malam jum’at. Lelah dan penat pasti selalu ada. Namun, semua terkalahkan oleh rasa cinta kami. Cinta seorang pengemis ilmu.

GubrakKKK !!!!
Aku kaget. Suara buku jatuh tersenggol temanku. Aku tersadarkan dari lamunanku. Untuk kali ini kusudahi perenunganku. Hmmmmm,,,Ya,,Cinta memang butuh perjuangan. Percayalah bahwa perjuangan yang kita lakukan berbanding lurus dengan apa yang akan kita dapatkan. Memang banyak cobaan, masalah, yang akan kami lalui dalam pembuktian cinta kami. Tapi sebuah hukum fisika yang kudapatkan dalam kuliahku tadi sedikit memotivasiku. Bahwa semakin luas penampangnya, maka akan semakin kecil tekanannya. Sebaliknya, semakin kecil luas penampangnya maka akan semakin besar tekanannya.  Itu berarti, seperti kita ketika pandangan kita luas terhadap segala masalah yang kita punya, maka semakin kecil tekanan dalam pikiran kita dan sebaliknya. Tetap semangat, Indah pada Waktunya. ^_^


By : Elok

Tidak ada komentar: