Yogyakarta,
15 November 2012
CINTA
Sang Pengemis Ilmu
Sabtu pagi nan cerah ini hatiku tak banyak
ingin berbuat seperti di hari-hariku yang penuh semangat. Sulit tuk dikatakan
apa gerangan yang menjadikannya segundah para penyair yang kehabisan kata-kata.
Semalam, saat Ustadz menyampaikan penjelasan kitab di kelas pun, seketika itu
pikiranku melanglangbuana, merambah ke hutan kebencianku, mengarungi lautan asmaraku, menyusuri sungai
harapanku, dan kurasakan malam itu adalah sebuah kerinduan. Namun di sisi lain,
sekali lagi adalah sebuah kebencian. Astaghfirullah.......Konsentrasiku
terbelah. Untunglah aku tetap sadar jika ku hanyalah seorang pengemis ilmu yang
tak sepantasnya mengabaikan pemberian yang Ustadzku sampaikan. Catatanku pun
tak sebanyak malam-malam biasanya aku mengaji. Yang banyak hanyalah
luapan-luapan perasaanku yang kuselipkan pada bagian luang buku catatan
ngajiku. Hmmm,,malam itu aku sedikit terkalahkan oleh perasaanku sendiri.
Kali ini aku lebih banyak diam, melamun,
merenung.
Setahun yang lalu, tepatnya awal usia “status Mahasiswa”ku
menginjak semester 3, kuputuskan sebuah pilihan untuk nyantri di sebuah Pondok
kecil yang tak jauh dari kampusku kuliah. Semenjak itu pula hari-hariku penuh
dengan aktivitas yang seolah membuatku slalu ada bayangan besar yang muncul di
setiap kali ku selesai melakukan satu agenda untuk melakukan agenda
selanjutnya. Tak hanya itu, semenjak itu pula statusku tlah berubah, MahaSantri.
Mahasiswa plus Santri.
Sebenarnya tak
mudah bagiku, bagi teman-teman yang senasib denganku tuk begitu saja mengubah
status Mahasiswa kami menjadi MahaSantri. Apalagi jika ingat tuntutan atas
status baru ini. Semua serba butuh perjuangan keras. Kami sadar akan hal itu.
Terlebih aku. Sejak awal kuputuskan, aku siap akan segala resiko terburuk yang
bakal kuterima. Mungkin bagi mereka yang telah berpengalaman menjadi seorang
mahasantri, bukan hal yang sulit tuk menyandang status itu. Tapi bagi ku????
Atau kami, yang samasekali belum pernah menyandang status ini pasti merasa hal
ini adalah sesuatu yang istimewa, yah, benar-benar istimewa. Bagaimana tidak???
Saat kuliah kami harus konsentrasi dengan kuliah kami. Selasai kuliah, kami
masih harus menyimpan rapat-rapat dalam memori kami pesan dosen tuk mempelajari
bab selanjutnya. Mau tak mau kami harus punya bacaan. Belum lagi tugas-tugas
lain yang harus dikerjakan sebagai bonus tambahan kuliah kami. Kami sangat
bersyukur, amat sangat bersyukur. Dosen kami sangat baik dan dermawan. Mereka
tak pernah lupa memberi mahasiswanya tugas......, tugas...., dan tugas. Hmmm,,,
inilah nikmat pertama yang kami rasakan atas gelar yang kami sandang.
Keluar kampus, mau tak mau kami harus mengambil kendaraan pribadi
kami. Kendaraan yang setia menemani kami kemanapun kami pergi, yang tak pernah
protes dengan kami jika ia kepanasan atau kehujanan. Sebuah sepeda ontel mini,
merk “Jieyang” lawas, dengan lampu kecil di depan dan belakang yang tak dapat
nyala, keranjang besi tempat menaruh tas yang karatan, rem yang seret, rantai
berkarat yang beruntung tak putus-putus meski telah berusia lama. Ban roda yang
sedikit merekah pertanda hampir meletus, belum lagi jika kami kayuh pastilah
sangat merdu suaranya. Inilah nikmat kedua kami yang kami rasakan sebagai
penyandang status baru kami. Pemilik kendaraan pribadi masa kini yang kami
anggap sebagai saksi bisu atas perjuangan kami menuntut ilmu.
Sepulang kuliah, kami harus mengerjakan
kegiatan kami di pondok layaknya para penghuni rumah yang pasti punya cucian
kotor, tugas bersih-bersih, dll. Sampai saaatnya jam ngaji sore, kami harus
siap-siap kembali menuntut ilmu. Mengaji di Pondok kecil kami. Hunian sederhana
tempat kami menetap sekaligus menuntut ilmu agama. Inilah nikmat ketiga kami
sebagai penyandang status Mahasantri.
Tak lama kami nikmati nasehat demi nasehat, pelajaran demi
pelajaran serta ilmu yang kami dapatkan sepanjang sore hari bersama Ustadz,
senja di ufuk barat menyambut dengan bertemankan suara burung-burung yang
hendak kembali ke sarangnya. Sepanjang sore kami slalu mendapatkan pencerahan.
Bak seorang pengemis ilmu yang haus akan pengetahuan.
Adzan berkumandang. Saatnya kami melanjutkan aktivitas-ativitas
kami, dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai seorang santri, sholat
berjama’ah, mujahadah, tadarus Qur’an, hafalan, muthola’ah sampai saatnya bel
berbunyi, Teeeeeeeett” Teeeeeeet” Teeeeettt”. Pertanda untuk kami memulai
kembali membuktikan cinta kami, cinta seorang pengemis ilmu berstatuskan
mahasantri. Mengaji pada setiap malam kecuali malam jum’at. Lelah dan penat
pasti selalu ada. Namun, semua terkalahkan oleh rasa cinta kami. Cinta seorang
pengemis ilmu.
GubrakKKK !!!!
Aku kaget. Suara buku jatuh tersenggol temanku. Aku tersadarkan
dari lamunanku. Untuk kali ini kusudahi perenunganku. Hmmmmm,,,Ya,,Cinta memang
butuh perjuangan. Percayalah bahwa perjuangan yang kita lakukan berbanding
lurus dengan apa yang akan kita dapatkan. Memang banyak cobaan, masalah, yang
akan kami lalui dalam pembuktian cinta kami. Tapi sebuah hukum fisika yang
kudapatkan dalam kuliahku tadi sedikit memotivasiku. Bahwa semakin luas
penampangnya, maka akan semakin kecil tekanannya. Sebaliknya, semakin kecil
luas penampangnya maka akan semakin besar tekanannya. Itu berarti, seperti kita ketika pandangan
kita luas terhadap segala masalah yang kita punya, maka semakin kecil tekanan
dalam pikiran kita dan sebaliknya. Tetap semangat, Indah pada Waktunya. ^_^
By : Elok